Abu Darda’ memiliki harta amat banyak yang ia kembangkan dengan cara berdagang. Kerana kejujuran dan amanahnya, ia dipercaya oleh penduduk Makkah. Mereka membeli segala keperluannya kepada Abu Darda’ sebab mereka yakin bahawa ia bukanlah penipu. Abu Darda’ menjual barang-barang yang masih baik dan istimewa kepada mereka dengan harga yang menarik.
Suatu hari hati dan fikirannya terbuka untuk menerima Islam. Ia pergi menjumpai Rasulullah SAW, di hadapan baginda ia masuk Islam. Setelah itu ia mengetahui bahawa ada sesuatu perdagangan yang tidak akan rugi, iaitu perniagaan dengan modal iman, akidah dan jihad. Maka Abu Darda’ memutuskan untuk menggunakan segenap fikiran, jiwa dan umurnya demi perniagaan di jalan Allah.
Abu Darda’ tidak meninggalkan kehidupan duniawi sama sekali, tapi ia juga tidak melalaikan ibadah. Ia mampu menggabungkan antara perdagangan duniawi dengan ibadah. Antara dunia dengan akhirat. Antara muamalah yang benar dengan sesama manusia dan hubungan yang benar kepada Allah. Antara mengambil bahagian dari kehidupannya di dunia dengan bahagian kehidupannya di akhirat.
Ia menganggap bahawa berzikir kepada Allah, takwa, dan ibadah kepada-Nya itu lebih berharga daripada segala sesuatu yang di bumi baik yang berupa harta mahupun kesenangan lainnya. Tingkat takwa dan waraknya mencapai peringkat orang-orang yang suci lagi soleh. Kadang kala ia duduk berdiam diri. Apabila seseorang bertanya: “Untuk apa berdiam diri, hai Abu Darda’?” Jawabnya: “Berfikir satu saat itu lebih baik daripada ibadah sepanjang malam.” Ertinya Abu Darda’ yang ahli ibadah dan hidup zuhud ini sedang memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, memperhatikan keindahan ciptaan Allah.
Ia tidak mencari harta kecuali sekadar mencukupi keperluan makan dan pakaian keluarganya secara sederhana. Seringkali ia menyampaikan ideanya kepada para sahabatnya. Ia berkata: “Mahukah engkau aku beritahukan sebaik-baik perbuatan yang paling suci di sisi Tuhan, yang boleh mengangkat darjat lebih tinggi daripada engkau memerangi musuh dan yang lebih baik dari banyaknya dirham dan harta? Itulah zikir kepada Allah. Sungguh zikir kepada Allah adalah amalan yang paling besar.”
Bagi Abu Darda’, zikir kepada Allah merupakan amalan yang paling utama dibanding yang lain. Manisnya iman telah menguasai segenap perasaan dan memenuhi hatinya. Baginya dunia ini hanya perkara kecil dan segala yang ada di dalamnya berupa kesenangan tidak boleh disamakan dengan nikmatnya ber-taqarrub kepada Allah meskipun sejenak. Abu Darda’ menggambarkan kesenangan duniawi yang bakal punah ini dalam salah satu surat yang ia kirimkan kepada salah seorang sahabatnya.
Ia berkata: “Adapun setelah itu, tidak ada ertinya bagi orang yang bermegah dengan kehidupan duniawi. Harta itu telah beredar pada orang lain sebelummu, lalu kepada orang lain sesudahmu. Engkau tidak memilikinya kecuali apa yang sedang engkau hadapi. Selanjutnya bagi orang yang mengumpulkan harta agar dapat diwariskan kepada anakmu, maka sebenarnya engkau mengumpulkan harta itu untuk dua kemungkinan. Mungkin untuk anak soleh yang beramal di jalan ketaatan kepada Allah lalu berbahagia dengan pemberianmu, atau untuk anak derhaka yang beramal di jalan kemaksiatan. Maka sia-sialah harta yang engkau kumpulkan itu, kerananya percayalah bahawa Allah akan memberi rezeki kepada mereka dan selamatkanlah dirimu.”
Begitulah pandangan Abu Darda’ terhadap harta benda. Ia menasihati sahabatnya agar tidak hanya sibuk mengumpulkan harta benda dan perhatian yang hanya mengarah pada masalah itu. Sebab apa yang ia kumpulkan dan dihitung-hitung itu akan ditinggalkan, mungkin kepada anak yang soleh, sehingga boleh dinikmati, mungkin pula pada anak derhaka, sehingga dibelanjakan di jalan yang dimurkai Allah. Manusia seharusnya berusaha dan berjuang di muka bumi ini tanpa melalaikan ibadah dan merenungkan keindahan ciptaan Allah.
Di samping Abu Darda’ meninggalkan kemewahan duniawi, tidak mengambilnya kecuali sekadar mengisi perutnya, ia juga menolak puterinya bermegah-megah dengan harta kekayaan di dunia ini. Kehidupan zuhud yang ia tempuh sejak masuk Islam telah terbiasa bagi keluarganya. Ia menolak jika hatinya dipengaruhi oleh kesenangan duniawi, seperti halnya ia menolak jika hal itu terjadi pada puterinya.
Maka ketika Yazid Ibn Muawiyah yang banyak harta dan berkuasa, melamarnya. Abu Darda’ yang hidup zuhud dan miskin menolak mengahwinkan puterinya dengan Yazid, si kaya yang berkuasa. Mengapa? Sebab ia tidak ingin puterinya sibuk dengan urusan duniawi jika nantinya ia tinggal di istana Bani Umaiyah. Ia menghendaki puterinya seperti dirinya sendiri yang takwa, wara’, penuh iman dan akidah.
Sebahagian sahabatnya bertanya, “Kenapa puterimu tidak engkau kahwinkan dengan Yazid?” Jawabnya: “Bagaimana pendapatmu nanti kepadaku’, jika puteriku kelak hidup di istana, dilayani oleh dayang-dayang dan perhiasan istana, lalu pada saat itu cinta pada agamanya menjadi lenyap?”
Pada saat pemuda dari kalangan kaum miskin datang kepadanya, meminang puterinya, tanpa ragu-ragu lagi Abu Darda’ menerimanya untuk dikahwinkan. Sebab jalan lurus yang ia tempuh tidak menghendaki puterinya melangkah ke jalan yang salah. Dengan cara hidup lurus seperti zuhud, hidup sederhana dan meninggalkan kesenangan duniawi itulah Abu Darda’ hidup. Seorang yang sejak masuk Islamnya telah meninggalkan perniagaan atau jual beli yang boleh melalaikannya dari berzikir kepada Allah.
Suatu hari para sahabatnya mendengar ia berdoa dengan hikmat: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang selalu berangan-angan kepada kehidupan duniawi.”
Abu Darda’ tidak menghendaki sama sekali terhadap kesenangan duniawi dan kehidupan mewah. Hal ini nampak ketika Utsman Ibn Affan menunjuknya menjadi hakim di Syam dengan maksud mengalihkan perhatian masyarakat Islam dari cinta dunia kepada cinta akhirat. Utsman Ibn Affan melihat bahawa masyarakat Islam tersebut mulai tenggelam dalam kemewahan dan jatuh dalam kemegahan.
Kerananya Abu Darda’ mengundang penduduk Syam untuk berkumpul di masjid seraya berucap: “Hai penduduk Syam, engkau sekalian adalah saudara seagama bagi kami. Tetangga dengan rumah kami dan telah menolong dari serangan musuh. Namun aku lihat engkau suka mengumpulkan harta, membangun sesuatu yang tidak boleh tetap dan mengangan-angankan sesuatu yang tidak mungkin tercapai. Orang-orang sebelum engkau mengumpulkan harta yang bakal mereka tinggalkan, berangan yang bukan-bukan dan membangun rumah-rumah yang tinggi, lalu yang mereka kumpulkan itu menjadi binasa. Angan-angannya kosong belaka dan rumah-rumahnya menjadi perkuburan. Itulah kaum Ad. Mereka memenuhi tempat antara Ad sampai Yaman dengan banyaknya harta dan anak. Adakah orang yang akan membeli peninggalan keluarga Ad seharga 2 dirham dariku?”
Abu Darda’ menghendaki agar kaum muslimin memancarkan jiwa hidup sederhana dan zuhud, sehingga gemerlapnya dunia tidak sampai menipunya lalu meninggalkan beribadah kepada Allah.
Di samping Abu Darda’ memiliki hati yang memancarkan makna ibadah, fikirannya juga memancarkan makna ilmu. Ia memahami ajaran agama Islam, selalu mencari kebenaran, berusaha mencapai hakikat dan tiap hari makin bertambah pemahamannya terhadap Al-Quran dan sunah Rasul-Nya. Dalam hal ini ia berkata: “Engkau tidak boleh menjadi takwa sebelum berilmu. Sedang ilmu itu tidak sempurna tanpa amal.”
Abu Darda’, si alim yang mengamalkan ilmunya, si zahid dan tekun beribadah kepada Allah itu sepanjang hidupnya berjalan di jalan Allah, sampai riwayatnya berakhir di tanah Mesir. Tubuhnya bersemayam di suatu makam di kota Iskandariah setelah Allah menempatkan posisinya dalam kelompok orang-orang yang soleh.
" Wahai orang-orang yang berselimut... bangunlah dan berilah peringatan.. Lalu Agungkanlah TuhanMu...(Al-Muddassir 74 : 1-3) "
InsyaAllah...
Wallahualam
Salam.Google info pasal Abu Darda', ditemukan Allah dgn blog ohsem ni. Terus baca post lepas2. Ya Allah, penulisan yg beri kesan sangat2. Satu hari nanti blh jadi penulis hebat mcm Ustaz Hasrizal.Keep on writing dik!
ReplyDelete